Rabu, 12 September 2012

Posisi Pendidikan Tinggi Islam dalam Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi


Pada tanggal 26 Januari 2012 yang lalu para Pimpinan PTAIN diundang oleh Dirjen Pendidikan Islam untuk mendengarkan penjelasan tentang rancangan Undang-undang Pendidikan Tinggi. Kegiatan yang dilaksanakan di Hotel Borobudur Jakarta ini, selain dihadiri oleh para pimpinan perguruan tinggi Islam,  juga oleh  komisi X DPR RI. Rancangan undang-undang tersebut sudah lewat proses yang cukup lama, sehingga menurut informasi, sudah mendekati final.   

Dalam rancangan Undang-Undang itu,  di antaranya dikemukakan bahwa penyelenggara dan penanggung jawab pendidikan adalah menteri. Sedangkan yang dimaksud dengan menteri dalam rancangan undang-undang ini  adalah menteri pendidikan dan kebudayaan. Sementara  ini,  hampir semua kementerian menyelenggarakan pendidikan kedinasan, dan tidak terkecuali  Kemeterian Agama. Bahkan lembaga pendidikan yang berada di bawah Kementerian Agama,  tidak saja jumlahnya  besar, tetapi juga menyelenggarakan pendidikan umum.

Penyelenggaraan pendidikan oleh Kementerian Agama yang sedemikian banyak itu sebenarnya memiliki sejarah tersendiri. Pada awalnya, bahkan sebelum Indonesia merdeka, para tokoh agama telah menyelenggarakan pendidikan. Lembaga pendidikan pesantren, sebagai bagian dari pendidikan agama,  sudah ada sejak sebelum pendidikan modern ada seperti sekarang ini. Artinya,  lembaga pendidikan agama sudah lahir terlebih dahulu sebelum pemerintah secara resmi menyelenggarakan pendidikan.

Atas dasar kenyataan  itu, tatkala rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi mengisyaratkan untuk menyatukan sistem pengelolaan pendidikan, yaitu  hanya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak sedemikian mudah  diterima oleh semua pihak. Banyak kalangan yang menghendaki  Kementerian Agama,  yang selama ini menyelenggarakan pendidikan tinggi, agar  tetap dipertahankan.

Dalam  kesempatan itu, saya menyampaikan beberapa pokok pikiran. Pertama, bahwa bangsa Indonesia ini,  selain jumlahnya besar,  juga bersifat  majemuk. Kemajemukan itu sejak awal bangsa ini berdiri sudah diakui bersama dengan   rumusan yang sedemikian indah, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Memahami kenyataan  seperti itu, maka seharusnya  tatkala berbicara tentang atap,  yaitu  penyelenggara pendidikan, maka atap itu juga harus luas, agar bisa digunakan untuk berteduh bagi bangsa yang besar dan beraneka itu.

Selanjutnya saya sampaikan  bahwa, kalau memang penyatuan itu merupakan keharusan, maka bisa ditempuh lewat penyatuan kementeriannya. Sementara ini lewat Rancangan Undang-Undang dimaksud, lembaga pendidikan tinggi yang ada di Kementerian Agama akan dialihkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ternyata keinginan itu tidak mudah diwujudkan. Maka menurut hemat saya, alternatif lain yang bisa ditempuh adalah menyatukan dua kementerian, --------yaitu Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,  menjadi Kementerian Agama, Pendidikan dan Kebudayaan. Lewat kebijakan ini maka dengan sendirinya semua lembaga pendidikan di negeri ini  akan benar-benar berhasil menyatu.

Kedua, saya menyampaikan   bahwa pendidikan tinggi Islam dibanding dengan pendidikan tinggi pada umumnya, sekalipun sama-sama berbentuk  universitas, secara jelas memiliki perbedaan yang mendasar. Sebutan Islam pada masing-masing perguruan tinggi dimaksud, sebenarnya  memiliki makna yang luas dan mendalam. Hal itu berbeda dengan nama-nama yang digunakan oleh universitas pada umumnya. Misalnya, nama Gajah Mada, Erlangga, Brawijaya, Diponegoro yang digunakan sebagai nama universitas di berbagai kota di Indonesia ini tidak terlalu terkait dengan ilmu yang dikembangkan oleh masing-masing perguruan tinggi dimaksud.  Hal itu berbeda dengan  “Islam”  yang digunakan sebagai indentitas perguruan tinggi. Sebutan Islam,  menggamabrkan bahwa perguruan tinggi dimaksud dalam  mengembangkan ilmunya,  menjadikan kitab suci al Qur’an dan hadits nabi sebagai bagian dari sumber kebenaran atau sumber ilmu.

Atas dasar pandangan itu, maka tatkala Undang-Undang Pendidikan Tinggi ingin menyatukan semua perguruan tinggi pada satu kementerian, maka tidak sedemikian mudah. Mereka yang memandang adanya perbedaan yang mendasar antara pendidikan tinggi  Islam dan pendidikin tinggi pada umumnya, tidak sedemikian mudah menyetujui ide dasar Undang-Undang Pendidikan Tinggi dimaksud. Alasan yang digunakan bukan saja semata-mata kesejarahan, melainkan oleh karena kedua jenis perguruan tinggi tersebut memang benar-benar berbeda, apalagi perbedaan itu terletak pada sumber kajiannya.

Ketiga,  umpama  saja upaya menyatukan kedua jenis pendidikan tinggi lewat Undang-Undang Pendidikan Tinggi dimaksud harus ditetapkan dan dijalankan, maka saya mengusulkan agar dalam Undang-Undang dimaksud diberikan pasal-pasal yang menjamin eksistensi perguruan tinggi Islam, sebagai perguruan  tinggi yang berbeda dari perguruan tinggi lain pada umumnya. Perbedaan itu, di antaranya adalah dalam  menentukan sumber ilmu pengetahuan yang dikembangkan, visi dan misi,  budaya akademik dan lain-lainnya.

Penyatuan sistem pendidikan tinggi ini,  jika direnungkan secara mendalam, memang terasa rasional.  Dengan undang-undang itu maka diskriminasi yang dirasakan oleh berbagai kalangan selama ini,  bisa diminimalisasi hingga sekecil mungkin. Selama ini pendidikan tinggi Islam oleh karena posisinya  berada di bawah pembinaan kementerian agama, maka konsultasi yang terkait dengan anggaran kepada komisi VIII, semetara Pendidikan Tinggi umum, berada di bawah kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kepada DPR komisi X. Perbedaan itulah yang seringkali membuahkan diskriminasi,  yang kemudian dicarikan solusi  lewat UU Pendidikan Tinggi.  Selanjutnya diharapkan, lewat UU Pendidikan Tinggi, semua perguruan tinggi  mampu  swama-sama  berkembang secara  maksimal. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar