Rabu, 12 September 2012
Belajar Blog
Hari Rabu, tanggal 13 sept 2012 saya mulai belajar membuat blog, saya membuat blog ini untuk tugas kuliah aplikasi komputer, dengan dosen pak.Dudun. semoga dengan awal saya membuat blog ini bisa menunjang tugas-tugas perkuliahan yang di berikan oleh dosen.
Posisi Pendidikan Tinggi Islam dalam Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi
Pada
tanggal 26 Januari 2012 yang lalu para Pimpinan PTAIN diundang oleh Dirjen
Pendidikan Islam untuk mendengarkan penjelasan tentang rancangan
Undang-undang Pendidikan Tinggi. Kegiatan yang dilaksanakan di Hotel
Borobudur Jakarta ini, selain dihadiri oleh para pimpinan perguruan tinggi
Islam, juga oleh komisi X DPR RI. Rancangan undang-undang
tersebut sudah lewat proses yang cukup lama, sehingga menurut informasi, sudah
mendekati final.
Dalam
rancangan Undang-Undang itu, di
antaranya dikemukakan bahwa penyelenggara dan penanggung jawab pendidikan
adalah menteri. Sedangkan yang dimaksud dengan menteri dalam rancangan
undang-undang ini adalah menteri
pendidikan dan kebudayaan. Sementara
ini, hampir semua kementerian
menyelenggarakan pendidikan kedinasan, dan tidak terkecuali Kemeterian Agama. Bahkan lembaga pendidikan
yang berada di bawah Kementerian Agama,
tidak saja jumlahnya besar,
tetapi juga menyelenggarakan pendidikan umum.
Penyelenggaraan
pendidikan oleh Kementerian Agama yang sedemikian banyak itu sebenarnya
memiliki sejarah tersendiri. Pada awalnya, bahkan sebelum Indonesia merdeka,
para tokoh agama telah menyelenggarakan pendidikan. Lembaga pendidikan
pesantren, sebagai bagian dari pendidikan agama, sudah ada sejak sebelum pendidikan modern
ada seperti sekarang ini. Artinya,
lembaga pendidikan agama sudah lahir terlebih dahulu sebelum
pemerintah secara resmi menyelenggarakan pendidikan.
Atas
dasar kenyataan itu, tatkala rancangan
Undang-Undang Pendidikan Tinggi mengisyaratkan untuk menyatukan sistem
pengelolaan pendidikan, yaitu hanya di
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak sedemikian mudah diterima oleh semua pihak. Banyak kalangan
yang menghendaki Kementerian
Agama, yang selama ini
menyelenggarakan pendidikan tinggi, agar
tetap dipertahankan.
Dalam kesempatan itu, saya menyampaikan beberapa
pokok pikiran. Pertama, bahwa bangsa Indonesia ini, selain jumlahnya besar, juga bersifat majemuk. Kemajemukan itu sejak awal bangsa
ini berdiri sudah diakui bersama dengan
rumusan yang sedemikian indah, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Memahami
kenyataan seperti itu, maka
seharusnya tatkala berbicara tentang
atap, yaitu penyelenggara pendidikan, maka atap itu
juga harus luas, agar bisa digunakan untuk berteduh bagi bangsa yang besar
dan beraneka itu.
Selanjutnya
saya sampaikan bahwa, kalau memang
penyatuan itu merupakan keharusan, maka bisa ditempuh lewat penyatuan
kementeriannya. Sementara ini lewat Rancangan Undang-Undang dimaksud, lembaga
pendidikan tinggi yang ada di Kementerian Agama akan dialihkan ke Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, ternyata keinginan itu tidak mudah diwujudkan.
Maka menurut hemat saya, alternatif lain yang bisa ditempuh adalah menyatukan
dua kementerian, --------yaitu Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, menjadi Kementerian
Agama, Pendidikan dan Kebudayaan. Lewat kebijakan ini maka dengan sendirinya
semua lembaga pendidikan di negeri ini
akan benar-benar berhasil menyatu.
Kedua,
saya menyampaikan bahwa pendidikan
tinggi Islam dibanding dengan pendidikan tinggi pada umumnya, sekalipun
sama-sama berbentuk universitas,
secara jelas memiliki perbedaan yang mendasar. Sebutan Islam pada
masing-masing perguruan tinggi dimaksud, sebenarnya memiliki makna yang luas dan mendalam. Hal
itu berbeda dengan nama-nama yang digunakan oleh universitas pada umumnya.
Misalnya, nama Gajah Mada, Erlangga, Brawijaya, Diponegoro yang digunakan
sebagai nama universitas di berbagai kota di Indonesia ini tidak terlalu
terkait dengan ilmu yang dikembangkan oleh masing-masing perguruan tinggi
dimaksud. Hal itu berbeda dengan “Islam”
yang digunakan sebagai indentitas perguruan tinggi. Sebutan
Islam, menggamabrkan bahwa perguruan
tinggi dimaksud dalam mengembangkan
ilmunya, menjadikan kitab suci al
Qur’an dan hadits nabi sebagai bagian dari sumber kebenaran atau sumber ilmu.
Atas
dasar pandangan itu, maka tatkala Undang-Undang Pendidikan Tinggi ingin menyatukan
semua perguruan tinggi pada satu kementerian, maka tidak sedemikian mudah.
Mereka yang memandang adanya perbedaan yang mendasar antara pendidikan
tinggi Islam dan pendidikin tinggi
pada umumnya, tidak sedemikian mudah menyetujui ide dasar Undang-Undang
Pendidikan Tinggi dimaksud. Alasan yang digunakan bukan saja semata-mata
kesejarahan, melainkan oleh karena kedua jenis perguruan tinggi tersebut
memang benar-benar berbeda, apalagi perbedaan itu terletak pada sumber
kajiannya.
Ketiga,
umpama
saja upaya menyatukan kedua jenis pendidikan tinggi lewat
Undang-Undang Pendidikan Tinggi dimaksud harus ditetapkan dan dijalankan,
maka saya mengusulkan agar dalam Undang-Undang dimaksud diberikan pasal-pasal
yang menjamin eksistensi perguruan tinggi Islam, sebagai perguruan tinggi yang berbeda dari perguruan tinggi
lain pada umumnya. Perbedaan itu, di antaranya adalah dalam menentukan sumber ilmu pengetahuan yang
dikembangkan, visi dan misi, budaya
akademik dan lain-lainnya.
Penyatuan sistem pendidikan tinggi
ini, jika direnungkan secara mendalam,
memang terasa rasional. Dengan
undang-undang itu maka diskriminasi yang dirasakan oleh berbagai kalangan
selama ini, bisa diminimalisasi hingga
sekecil mungkin. Selama ini pendidikan tinggi Islam oleh karena
posisinya berada di bawah pembinaan
kementerian agama, maka konsultasi yang terkait dengan anggaran kepada komisi
VIII, semetara Pendidikan Tinggi umum, berada di bawah kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan kepada DPR komisi X. Perbedaan itulah yang seringkali
membuahkan diskriminasi, yang kemudian
dicarikan solusi lewat UU Pendidikan
Tinggi. Selanjutnya diharapkan, lewat
UU Pendidikan Tinggi, semua perguruan tinggi
mampu swama-sama berkembang secara maksimal. Wallahu a’lam
|
Langganan:
Postingan (Atom)